Budi S Otong sekarang tinggal di Eropa, mengapa dia tak mau hidup di negeri tercinta, negeri Indonesia tempat ia lahir dan dibesarkan kecil hingga dewasa. Karena dengan Teater Sae nya dia lebih mendapatkan pasar yang menggairahkan sebagai koreografer di Eropa. Terlepas dari idealistik seorang seniman untuk berkarya tanpa harus memperdulikan pasar. Dan sangat di mafhum bahwa karya-karya dari Budi S Otong memang sangat fenomenal. “Tapi” itu jaman dahulu ketika Teater Sae naik pamor, dan sekarang pun apabila menunjukan batang hidungnya kembali, pasti juga akan banjir penontonnya. Penggemar generasi tua akan datang berdoyong-doyong, apalagi generasi muda yang baru mengenal teater.
Kesetiaan pada pasar mungkin adalah jalan hidup sementara, agar bisa bernafas lebih panjang dan lebih bertahan hidup agak lama. Maraknya pertumbuhan teater kampus saat ini, tak terlepas dari semangat-semangat jiwa-jiwa muda terhadap bergairah berteater. Setidak-tidaknya sudah manggung untuk yang pertama atau yang kedua kali adalah suatu kebanggaan untuk bisa bertahan.
Sayangnya belum ada generasi muda seperti Afrizal Malna yang berniat putus dari kuliah dan memandang cerah dunia kepenyairannya. Dengan kemenangan di berbagai penghargaan, setidak-tidaknya eksistensinya juga tidak terlepas dari pasar. Dan para penikmat seni masih bisa terkagum-kagum dengan syair-syairnya walaupun diterjemahkan dalam bahasa inggris. Seolah mengajak untuk berpetualang tersendiri dan mengasyikan.
Adanya berbagai gejala ini, tidak memungkiri bahwa beberapa wajah dari teman-teman kesenian terselubung dengan kekuasaan. Dan kita percaya, bahwa kekuasaan bukan “Tuhan” untuk berkarya. Kita bisa memutarbalikan keadaan apabila dimungkinkan. Kekuasaan harus diselubungi dengan kesenian, yang akhirnya juga sama saja. Atau malah semakin memperparah keadaan, apabila menjalankan kekuasaan dengan seni, rakyat tidak sadar bahwa mereka dibodohi walaupun dengan keindahan seni. Apakah kita harus kembali merenungkan “moralitas” kesenian?
Atau seperti yang diungkapkan WS Rendra bahwa seni untuk dihayati bukan untuk dimengerti. Walaupun bersahabat dengan kekuasaan atau bersahabat dengan pasar, harus dihayati bahwa seni sekarang bisa hidup dengan pasar dan kekuasaan. Jadi jangan berusaha untuk dimengerti kedekatan dengan pasar atau kekuasaan adalah sesuatu hal yang salah. Mungkin hal iu adalah sesuatu yang dibenarkan bahkan sangat diperbolehkan. Apalagi jika kita tidak bermain networking, “Anda itu siapa? Karya anda pernah ditampilkan kemana saja? Teman anda siapa? Kekuatan karya anda apa?dll” Toh sebelum seniman menunjukan karyanya, teman seniman dahulu yang menilainya sebelum dikomsumsi oleh publik.
Benar salah sebuah kritik
Ternyata fenomena dirasakan semua kota, berkutik tentang kritik salah benar sebuah karya. Dan sangat sepakat sekali dengan pendapat Afrizal bahwa kritik seni seolah-olah menjadi dominasi pasar. Dimana karya itu sesuai pasar, dianggap bagus. Jika tidak sesuai dengan pasar tidak bagus. Namun kita patut bersyukur, bahwa seniman kita sudah pandai melakukan kritik seni. Walaupun kritik itu salah ataupun juga benar. Proses belajar itu adalah proses panjang dan tidak akan berhenti.
Seniman besar manapun di belahan dunia ini pernah melakukan kesalahan dan juga pernah melakukan tindakan benar. Antonin Artaud pun dengan gaya-gaya yang tidak wajar (yang menurut perspektif kita salah, mungkin) justru menjadi fenomenal hingga akhir hayatnya. Dan kita mengakui eksistensinya hingga sekarang. Atau jangan-jangan kita hanya pandai mengkritik, “seniman kritik”, atau… “capek dechh…”
Sayangnya belum ada generasi muda seperti Afrizal Malna yang berniat putus dari kuliah dan memandang cerah dunia kepenyairannya. Dengan kemenangan di berbagai penghargaan, setidak-tidaknya eksistensinya juga tidak terlepas dari pasar. Dan para penikmat seni masih bisa terkagum-kagum dengan syair-syairnya walaupun diterjemahkan dalam bahasa inggris. Seolah mengajak untuk berpetualang tersendiri dan mengasyikan.
Adanya berbagai gejala ini, tidak memungkiri bahwa beberapa wajah dari teman-teman kesenian terselubung dengan kekuasaan. Dan kita percaya, bahwa kekuasaan bukan “Tuhan” untuk berkarya. Kita bisa memutarbalikan keadaan apabila dimungkinkan. Kekuasaan harus diselubungi dengan kesenian, yang akhirnya juga sama saja. Atau malah semakin memperparah keadaan, apabila menjalankan kekuasaan dengan seni, rakyat tidak sadar bahwa mereka dibodohi walaupun dengan keindahan seni. Apakah kita harus kembali merenungkan “moralitas” kesenian?
Atau seperti yang diungkapkan WS Rendra bahwa seni untuk dihayati bukan untuk dimengerti. Walaupun bersahabat dengan kekuasaan atau bersahabat dengan pasar, harus dihayati bahwa seni sekarang bisa hidup dengan pasar dan kekuasaan. Jadi jangan berusaha untuk dimengerti kedekatan dengan pasar atau kekuasaan adalah sesuatu hal yang salah. Mungkin hal iu adalah sesuatu yang dibenarkan bahkan sangat diperbolehkan. Apalagi jika kita tidak bermain networking, “Anda itu siapa? Karya anda pernah ditampilkan kemana saja? Teman anda siapa? Kekuatan karya anda apa?dll” Toh sebelum seniman menunjukan karyanya, teman seniman dahulu yang menilainya sebelum dikomsumsi oleh publik.
Benar salah sebuah kritik
Ternyata fenomena dirasakan semua kota, berkutik tentang kritik salah benar sebuah karya. Dan sangat sepakat sekali dengan pendapat Afrizal bahwa kritik seni seolah-olah menjadi dominasi pasar. Dimana karya itu sesuai pasar, dianggap bagus. Jika tidak sesuai dengan pasar tidak bagus. Namun kita patut bersyukur, bahwa seniman kita sudah pandai melakukan kritik seni. Walaupun kritik itu salah ataupun juga benar. Proses belajar itu adalah proses panjang dan tidak akan berhenti.
Seniman besar manapun di belahan dunia ini pernah melakukan kesalahan dan juga pernah melakukan tindakan benar. Antonin Artaud pun dengan gaya-gaya yang tidak wajar (yang menurut perspektif kita salah, mungkin) justru menjadi fenomenal hingga akhir hayatnya. Dan kita mengakui eksistensinya hingga sekarang. Atau jangan-jangan kita hanya pandai mengkritik, “seniman kritik”, atau… “capek dechh…”
Sugeng Hariyanto
Sedang belajar dengan “Teater Ragil”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar